Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany telah membatasi pengertian
tasawuf dengan berkata, “Tasawuf adalah percaya kepada Yang Haq (Allah)
dan berperilaku baik kepada makhluk.”[1]
Maksudnya bahwa tasawuf mengatur dua hubungan utama
antara manusia dan Tuhannya dengan kesungguhan dalam ibadah, dan antara manusia
dan manusia dengan perilaku yang baik dan akhlak yang lurus.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany juga menjelaskannya di
tempat lain:
“Yaitu bertakwa kepada Allah, mentaati-Nya, menerapkan syariat
secara lahir, menyelamatkan hati, mengayakan hati, membaguskan wajah, melakukan
dakwah, mencegah penganiayaan, sabar menerima penganiayaan dan kefakiran,
menjaga kehormatan para guru, bersikap baik dengan saudara, menasihati orang
kecil dan besar, meninggalkan permusuhan, bersikap lembut, melaksanakan
keutamaan, menghindari dari menyimpan (harta benda), menghindari persahabatan
dengan orang yang tidak setingkat, dan tolong-menolong dalam urusan agama dan
dunia.”[2]
Di sini ada dua perkara penting yang berkaitan dengan
tasawuf:
Pertama, mendidik jiwa, menyucikannya, dan membawanya untuk berakhlak
dengan sifat-sifat mulia dan terpuji, seperti lapang hati, dermawan, ceria,
sungguh-sungguh, tabah, lembut, kasih sayang dan sebagainya.
Kedua, etis dalam pergaulan
dengan memberikan hak kepada guru dan saudara, memberikan nasihat dan ikhlas
dalam segala hal serta meninggalkan permusuhan.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany tidak cukup hanya
menertibkan perkara-perkara penting itu saja, tetapi beliau juga menjelaskan
bahwa tasawuf dibangun di atas 8 pilar:
1. Dermawan, yang dijadikan sebagai teladan dalam
hal ini adalah Khalilurrahman, Ibrahim alaihis salam yang
terkenal dengan hal itu.
2. Ridha, yang dijadikan sebagai teladan dalam hal
ini adalah Ishaq bin Ibrahim alaihimassalam. Dengan pandangan
ini, seakan-akan beliau berpendapat bahwa Ishaqlah yang disembelih atas
perintah Tuhannya dan keridhaannya merupakan sifatnya yang paling kuat. Pendapat
ini adalah pendapat yang cacat menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ibnul
Qayyim telah menyebutkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini. Beliau
mentarjih dengan dalil-dalil qath’I dan bukti-bukti kuat bahwa yang
disembelih itu adalah Ismail alaihissalam.[3]
3. Sabar, yang dijadikan sebagai teladan dalam hal
ini adalah Ayyub alaihissalam. Allah telah memujinya dalam
firman-Nya:
{وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًۭا فَٱضْرِب بِّهِۦ وَلَا
تَحْنَثْ ۗ إِنَّا وَجَدْنَٰهُ صَابِرًۭا ۚ نِّعْمَ ٱلْعَبْدُ ۖ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌۭ
}
“Dan
ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan
janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang
yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada
Tuhannya).” (Q.S. Shaad: 44)
Demikian itu karena beliau telah berhias dengan kesabaran
ketika ditimpa ujian besar yang hampit tidak kuasa dipikul oleh manusia, yang
menimpa jasad, harta, dan anaknya.[4]
4. Isyaarah[5], dia menyatakan bahwa yang
dijadikan teladan dalam hal ini adalah Nabi Zakaria alaihissalam. Dalam
hal ini seakan-akan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany mengisyaratkan tentang
kecerdasan Zakaria dan kecepatannya dalam memahami fenomena. Karena ketika
beliau melihat bahwa Allah memberi rizki kepada Maryam berupa buah-buahan musim
hujan di musim panas dan buah-buahan musim panas di musim hujan, dia langsung
tahu dengan kecerdasannya betapa besar kekuasaan Allah. Dan dia tidak
mengaitkannya dengan faktor-faktor lain karena Allah Maha Kuasa untuk
memberikan rizki berupa anak, walaupun seseorang telah tua renta,
tulang-tulangnya sudah lemah dan rambutnya putih, padahal istrinya juga sudah
tua. Maka dia berdoa kepada Allah seraya berkata,
{ رَبِّ هَبْ لِى مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةًۭ طَيِّبَةً
ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ }
"Ya
Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya
Engkau Maha Pendengar doa". (Q.S. Ali-Imran: 38)[6]
5. Mengasingkan Diri[7],
yang dijadikan sebagai teladan dalam hal ini adalah sifat Yahya bin Zakaria alaihimassalam.
Mungkin tujuan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany dalam hal ini adalah banyak
beribadah dan mengosongkan hatinya dari kesibukan, tanpa disibukkan anak dan
istri. Maka dari itu Yahya dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin dan nabinya
orang-orang shalih.[8]
6. Tasawwuf, yang dijadikan teladan dalam hal ini
adalah Musa bin Imran. Mungkin dalam hal ini ia mengisyaratkan kepada
pemilihan Allah kepada Musa seperti yang difirmankannya:
{ يَٰمُوسَىٰٓ إِنِّى ٱصْطَفَيْتُكَ عَلَى ٱلنَّاسِ
بِرِسَٰلَٰتِى وَبِكَلَٰمِى فَخُذْ مَآ ءَاتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ ٱلشَّٰكِرِينَ }
“Hai
Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di
masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab
itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu
termasuk orang-orang yang bersyukur". (Q.S. Al-A’raaf:
144)
7. Bepergian[9],
yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah Isa bin Maryam. Saya telah
berusaha untuk mencari hubungan antara sifat ini dengan sifat yang ada pada
Nabiyyullah Isa bin Maryam, tetapi saya tidak menemukannya.
8. Kefakiran[10],
tidak diragukan lagi bahwa orang yang berada dalam keadaan fakir adalah orang
yang paling butuh kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya dan kepada
sebaik-baik manusia dan pemimpin anak turun Adam, Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam. Bukti yang menunjukkan masalah ini sangat banyak yang
terpampang jelas dalam perjalanannya yang agung.[11]
[1] Al-Ghinyah,
Abdul Qadir Al-Jailany, (II/160)
[2] Futuuh
Al-Ghaib, Abdul Qadir Al-Jailany, makalah ke-57, hal. 166
[3] Zaad
Al-Ma’aad, Ibnul Qayyim, (I/71)
[4]
Lihat Tafsiir Ibn Katsiir, (IV/39)
[5]
Sarana yang dipakai manusia untuk berkomunikasi adalah berbicara, menyampaikan
dan sebagainya. Adapun orang-orang sufi, mereka menggunakan isyarat untuk
mengungkapkan, mengutus dan menerima. Dalam hal ini penulis buku Al-Luma’
berkata, ‘Isyarat adalah sesuatu yang disembunyikan oleh pembicara maksud
dari pembicaraannya karena kedalaman dan kelembutan maknanya.’ (Al-Luma’,
Ath-Thusy, hal 414)
[6] Lihat
Tafsiir Ibn Katsiir, (I/360)
[7]
Menurut kalangan sufi bepergian ini meksudnya meninggalkan negerinya yang
tujuannya untuk mempermudah berhubungan dengan Allah dan untuk mencegah dari
kesibukan fisik karena seorang sufi jika dia pergi ke suatu negeri, dia akan
mendapati dirinya membutuhkan kepada Allah dalam segala hal. Mu’jam Alfaadz
Ash-Shufiyyah, Hasan Syarqawy, hal. 216.
[8]
Lihat Tafsiir Ibn Katsiir, (I/361)
[9]
Bepergian dalam tradisi sufi adalah bagian dari memerangi hawa nafsu karena
dalam perjalanan, pengasingan, jauh dari anak-anak dan orang-orang yang
dicintai, ada kesempatan untuk mendidik jiwa, menentang hawa nafsu, apalagi
jika bertemu dengan orang-orang shalih, mencari ilmu dan sebagainya. Lihat Mu’jam
Alfaadz Ash-Shufiyyah, Hasan Syarqawy, hal. 174.
[10]
Kefakiran menuru sufi bukanlah seperti yang difahami manusia secara umum –yaitu
lawan dari kaya-. Artinya adalah membutuhkan Allah, manusia merasa butuh kepada
Allah, walaupun dia kaya atau cukup. Mu’jam Alfaadz Ash-Shufiyyah, Hasan
Syarqawy, hal. 226.
[11] Futuuh
Al-Ghaib, Abdul Qadir Al-Jailany, artikel ke-75, hal 166
------------------------------------
Sumber: Asy-Syaikh Abdul Qadir AL-Jailaany wa Aaraa’uhu Al-I’tiqaadiyyah wa Ash-Shuufiyyah, Said bin Musfir Al-Qahthany
Penerjemah: Munirul Abdiin, M.Ag
Diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy dari kitab Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete