Friday, February 15, 2013

Pengertian Tasawuf Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany


Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany telah membatasi pengertian tasawuf dengan berkata, “Tasawuf adalah percaya kepada Yang Haq (Allah) dan berperilaku baik kepada makhluk.[1]

Maksudnya bahwa tasawuf mengatur dua hubungan utama antara manusia dan Tuhannya dengan kesungguhan dalam ibadah, dan antara manusia dan manusia dengan perilaku yang baik dan akhlak yang lurus.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany juga menjelaskannya di tempat lain:

Yaitu bertakwa kepada Allah, mentaati-Nya, menerapkan syariat secara lahir, menyelamatkan hati, mengayakan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah penganiayaan, sabar menerima penganiayaan dan kefakiran, menjaga kehormatan para guru, bersikap baik dengan saudara, menasihati orang kecil dan besar, meninggalkan permusuhan, bersikap lembut, melaksanakan keutamaan, menghindari dari menyimpan (harta benda), menghindari persahabatan dengan orang yang tidak setingkat, dan tolong-menolong dalam urusan agama dan dunia.”[2]

Di sini ada dua perkara penting yang berkaitan dengan tasawuf:

Pertama, mendidik jiwa, menyucikannya, dan membawanya untuk berakhlak dengan sifat-sifat mulia dan terpuji, seperti lapang hati, dermawan, ceria, sungguh-sungguh, tabah, lembut, kasih sayang dan sebagainya.


Kedua, etis dalam pergaulan dengan memberikan hak kepada guru dan saudara, memberikan nasihat dan ikhlas dalam segala hal serta meninggalkan permusuhan.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany tidak cukup hanya menertibkan perkara-perkara penting itu saja, tetapi beliau juga menjelaskan bahwa tasawuf dibangun di atas 8 pilar:


1. Dermawan, yang dijadikan sebagai teladan dalam hal ini adalah Khalilurrahman, Ibrahim alaihis salam yang terkenal dengan hal itu.

2. Ridha, yang dijadikan sebagai teladan dalam hal ini adalah Ishaq bin Ibrahim alaihimassalam. Dengan pandangan ini, seakan-akan beliau berpendapat bahwa Ishaqlah yang disembelih atas perintah Tuhannya dan keridhaannya merupakan sifatnya yang paling kuat. Pendapat ini adalah pendapat yang cacat menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ibnul Qayyim telah menyebutkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini. Beliau mentarjih dengan dalil-dalil qath’I dan bukti-bukti kuat bahwa yang disembelih itu adalah Ismail alaihissalam.[3]

3. Sabar, yang dijadikan sebagai teladan dalam hal ini adalah Ayyub alaihissalam. Allah telah memujinya dalam firman-Nya:

{وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًۭا فَٱضْرِب بِّهِۦ وَلَا تَحْنَثْ ۗ إِنَّا وَجَدْنَٰهُ صَابِرًۭا ۚ نِّعْمَ ٱلْعَبْدُ ۖ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٌۭ }

“Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (Q.S. Shaad: 44)

Demikian itu karena beliau telah berhias dengan kesabaran ketika ditimpa ujian besar yang hampit tidak kuasa dipikul oleh manusia, yang menimpa jasad, harta, dan anaknya.[4]

4. Isyaarah[5], dia menyatakan bahwa yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah Nabi Zakaria alaihissalam. Dalam hal ini seakan-akan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany mengisyaratkan tentang kecerdasan Zakaria dan kecepatannya dalam memahami fenomena. Karena ketika beliau melihat bahwa Allah memberi rizki kepada Maryam berupa buah-buahan musim hujan di musim panas dan buah-buahan musim panas di musim hujan, dia langsung tahu dengan kecerdasannya betapa besar kekuasaan Allah. Dan dia tidak mengaitkannya dengan faktor-faktor lain karena Allah Maha Kuasa untuk memberikan rizki berupa anak, walaupun seseorang telah tua renta, tulang-tulangnya sudah lemah dan rambutnya putih, padahal istrinya juga sudah tua. Maka dia berdoa kepada Allah seraya berkata,

{ رَبِّ هَبْ لِى مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةًۭ طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ }

"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa". (Q.S. Ali-Imran: 38)[6]

5. Mengasingkan Diri[7], yang dijadikan sebagai teladan dalam hal ini adalah sifat Yahya bin Zakaria alaihimassalam. Mungkin tujuan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany dalam hal ini adalah banyak beribadah dan mengosongkan hatinya dari kesibukan, tanpa disibukkan anak dan istri. Maka dari itu Yahya dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin dan nabinya orang-orang shalih.[8]

6. Tasawwuf, yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah Musa bin Imran. Mungkin dalam hal ini ia mengisyaratkan kepada pemilihan Allah kepada Musa seperti yang difirmankannya:

{ يَٰمُوسَىٰٓ إِنِّى ٱصْطَفَيْتُكَ عَلَى ٱلنَّاسِ بِرِسَٰلَٰتِى وَبِكَلَٰمِى فَخُذْ مَآ ءَاتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ ٱلشَّٰكِرِينَ }

“Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur". (Q.S. Al-A’raaf: 144)

7. Bepergian[9], yang dijadikan teladan dalam hal ini adalah Isa bin Maryam. Saya telah berusaha untuk mencari hubungan antara sifat ini dengan sifat yang ada pada Nabiyyullah Isa bin Maryam, tetapi saya tidak menemukannya.

8. Kefakiran[10], tidak diragukan lagi bahwa orang yang berada dalam keadaan fakir adalah orang yang paling butuh kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya dan kepada sebaik-baik manusia dan pemimpin anak turun Adam, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Bukti yang menunjukkan masalah ini sangat banyak yang terpampang jelas dalam perjalanannya yang agung.[11]



[1] Al-Ghinyah, Abdul Qadir Al-Jailany, (II/160)
[2] Futuuh Al-Ghaib, Abdul Qadir Al-Jailany, makalah ke-57, hal. 166
[3] Zaad Al-Ma’aad, Ibnul Qayyim, (I/71)
[4] Lihat Tafsiir Ibn Katsiir, (IV/39)
[5] Sarana yang dipakai manusia untuk berkomunikasi adalah berbicara, menyampaikan dan sebagainya. Adapun orang-orang sufi, mereka menggunakan isyarat untuk mengungkapkan, mengutus dan menerima. Dalam hal ini penulis buku Al-Luma’ berkata, ‘Isyarat adalah sesuatu yang disembunyikan oleh pembicara maksud dari pembicaraannya karena kedalaman dan kelembutan maknanya.’ (Al-Luma’, Ath-Thusy, hal 414)
[6] Lihat Tafsiir Ibn Katsiir, (I/360)
[7] Menurut kalangan sufi bepergian ini meksudnya meninggalkan negerinya yang tujuannya untuk mempermudah berhubungan dengan Allah dan untuk mencegah dari kesibukan fisik karena seorang sufi jika dia pergi ke suatu negeri, dia akan mendapati dirinya membutuhkan kepada Allah dalam segala hal. Mu’jam Alfaadz Ash-Shufiyyah, Hasan Syarqawy, hal. 216.
[8] Lihat Tafsiir Ibn Katsiir, (I/361)
[9] Bepergian dalam tradisi sufi adalah bagian dari memerangi hawa nafsu karena dalam perjalanan, pengasingan, jauh dari anak-anak dan orang-orang yang dicintai, ada kesempatan untuk mendidik jiwa, menentang hawa nafsu, apalagi jika bertemu dengan orang-orang shalih, mencari ilmu dan sebagainya. Lihat Mu’jam Alfaadz Ash-Shufiyyah, Hasan Syarqawy, hal. 174.
[10] Kefakiran menuru sufi bukanlah seperti yang difahami manusia secara umum –yaitu lawan dari kaya-. Artinya adalah membutuhkan Allah, manusia merasa butuh kepada Allah, walaupun dia kaya atau cukup. Mu’jam Alfaadz Ash-Shufiyyah, Hasan Syarqawy, hal. 226.

[11] Futuuh Al-Ghaib, Abdul Qadir Al-Jailany, artikel ke-75, hal 166

------------------------------------

Sumber: Asy-Syaikh Abdul Qadir AL-Jailaany wa Aaraa’uhu Al-I’tiqaadiyyah wa Ash-Shuufiyyah, Said bin Musfir Al-Qahthany
Penerjemah: Munirul Abdiin, M.Ag
Diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy dari kitab Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany


1 comment: