Saturday, February 23, 2013

Ayat Aqidah: Beriman Kepada Yang Ghaib



 {ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ }



 “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,” (Q.S. Al-Baqarah: 3)


Kosakata

[يُؤْمِنُونَ] : Mereka beriman

[ٱلْغَيْبِ] : Hal/sesuatu yang gaib, yaitu yang sejatinya tak dijangkau oleh panca indera. Dalam hal ini, termaksudkan di antaranya adalah Rabb secara Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, para malaikat, dan lainnya.

[الصلاة] : Shalat, dengan menjaganya tepat pada waktunya, juga syarat-syarat sahnya, rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya dan hal-hal yang terkait dengannya.

[يُنْفِقُونَ] : Mereka berinfak


TAFSIR (Tafsir As-Sa’dy):


{الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ} “Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib”. Hakikat keimanan adalah pembenaran yang total terhadap apa pun yang dikabarkan oleh para Rasul, yang meliputi ketundukan anggota tubuh. Perkara keimanan itu tidak hanya kepada hal-hal yang dapat diperoleh oleh panca indera semata, karena hal ini tidaklah mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, namun perkara yang dianggap dalam keimanan kepada yang gaib adalah yang tidak kita lihat dan tidak kita saksikan, namun kita hanya mengimaninya saja karena ada kabar dari Allah dan kabar dari Rasul-Nya.
 

Inilah keimanan yang mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, karena itulah pembenaran yang utuh terhadap Allah dan Rasul-Nya. Maka seorang yang beriman adalah yang mengimani segala sesuatu yang dikabarkan oleh Allah atau yang dikabarkan oleh Rasul-Nya, baik yang dia saksikan ataupun tidak, baik dia mampu memahami dan masuk dalam akalnya, ataupun akal dan pemahamannya tidak mampu mencernanya. Berbeda dengan orang-orang atheis yang mendustakan perkara-perkara gaib, karena akal-akal mereka yang terbatas lagi lalai tidak sampai kepadanya, akhirnya mereka mendustakan apa yang tidak mampu dipahami oleh ilmu mereka, yang pada akhirnya rusaklah akal-akal mereka, sia-sialah harapan mereka, dan (sebaliknya) bersihlah akal kaum Mukminin yang membenarkan lagi mengambil hidayah dengan petunjuk Allah.

Dan termasuk dalam keimanan kepada yang gaib adalah keimanan kepada seluruh kabar yang diberitakan oleh Allah dari hal-hal gaib yang terdahulu maupun yang akan datang, kondisi-kondisi Hari Akhirat, hakikat sifat-sifat Allah , dan kabar yang diberitakan oleh Rasul-Nya tentang semua itu; di mana mereka beriman kepada sifat-sifat Allah dan keberadaannya, dan mereka meyakininya walaupun mereka tidak mampu memahami cara dan bentuknya.

Kemudian Allah berfirman { وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ} “yang mendirikan shalat”. Dia tidak berfirman, ‘yang mengerjakan shalat’, atau ‘yang menjalankan shalat’, karena sesungguhnya tidaklah cukup hanya sekadar menjalankan dengan bentuknya yang lahir saja, karena mendirikan shalat yang dimaksud adalah mendirikan shalat secara lahir dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya dan syarat-syaratnya, dan juga mendirikannya secara batin dengan mendirikan ruhnya yaitu dengan menghadirkan hari padanya, merenungi apa yang dibaca dan mengamalkannya. Maka shalat inilah yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

{ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ }

“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S. Al-Ankabut: 45)

Yaitu shalat yang memperoleh ganjaran. Maka tidak ada ganjaran bagi seorang hamba dari shalatnya kecuali apa yang dia pahami darinya, dan termasuk dalam shalat di sini adalah yang wajib maupun yang sunnah.

Kemudian Allah berfirman { وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ} “Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” Termasuk di dalamnya nafkah-nafkah yang wajib, seperti zakat, nafkah atas istri, keluarga dan para budak dan sebagainya, dan nafkah-nafkah yang dicintai dengan segala jalan kebaikan. Dan tidak disebutkannya hal-hal yang diinfakkan karena banyaknya sebab-sebabnya dan bermacam-macam penerimanya, dan karena nafkah itu pada dasarnya adalah sebuah ibadah kepada Allah. Dia juga disebutkan dengan kata “dari” yang menunjukkan makna sebagian, demi mengingatkan mereka bahwasanya Allah tidak menghendaki dari mereka kecuali sebagian kecil saja dari harta-harta mereka yang tidak akan memudaratkan mereka dan tidak akan pula memberatkan mereka, bahkan mereka akan mengambil manfaat dari infak mereka tersebut, dan saudara-saudara mereka juga akan dapat mengambil manfaat darinya.

Dan dalam firman Allah, { رَزَقْنَاهُمْ } “Rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka,” terkandung sebuah isyarat bahwa harta yang ada di hadapanmu ini tidaklah diperoleh dari kekuatan dan kepemilikanmu, akan tetapi itu semua adalah rizki Allah yang dianugerahkan kepada kalian dan diberikan-Nya nikmat itu atas kalian. Maka karena nikmat yang diberikan oleh Allah atas kalian dan kemurahan-Nya terhadap kalian dibanding banyak hamba-hamba-Nya yang lain, maka bersyukurlah kepada-Nya dengan mengeluarkan sebagian nikmat yang diberikan atas kalian tersebut, dan hiburlah saudara-saudara kalian yang tidak memilikinya.

Dan sangatlah banyak sekali Allah menyatukan (menyandingkan) shalat dengan zakat dalam Al-Qur’an, karena shalat itu mengandung keikhlasan hanya kepada Dzat yang disembah, sedangkan zakat dan nafkah mengandung berbuat baik kepada sesama hamba-hamba-Nya. Maka tanda dari kebahagiaan seorang hamba adalah keikhlasannya kepada Dzat yang disembah dan usahanya dalam memberikan manfaat kepada manusia, sebagaimana tanda kesengsaraan seorang hamba adalah tidak adanya kedua perkara tersebut pada dirinya, tidak ada keikhlasan dan tidak pula perbuatan baik kepada sesama.



Terjemahan tafsir mengandalkan kitab Tafsir Al-Qur'an (Tafsir As-Sa'dy) cetakan Pustaka Shahifa.

Disusun dan ditulis oleh Hasan Al-Jaizy








No comments:

Post a Comment