{ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ }
“(yaitu)
mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,” (Q.S.
Al-Baqarah: 3)
Kosakata
[يُؤْمِنُونَ] : Mereka
beriman
[ٱلْغَيْبِ] : Hal/sesuatu yang
gaib, yaitu yang sejatinya tak dijangkau oleh panca indera. Dalam hal ini,
termaksudkan di antaranya adalah Rabb secara Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, para
malaikat, dan lainnya.
[الصلاة] : Shalat, dengan
menjaganya tepat pada waktunya, juga syarat-syarat sahnya, rukun-rukunnya,
sunnah-sunnahnya dan hal-hal yang terkait dengannya.
[يُنْفِقُونَ] : Mereka berinfak
TAFSIR (Tafsir As-Sa’dy):
{الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ} “Yaitu mereka
yang beriman kepada yang gaib”. Hakikat keimanan adalah pembenaran yang
total terhadap apa pun yang dikabarkan oleh para Rasul, yang meliputi
ketundukan anggota tubuh. Perkara keimanan itu tidak hanya kepada hal-hal yang
dapat diperoleh oleh panca indera semata, karena hal ini tidaklah mampu
membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, namun perkara yang dianggap
dalam keimanan kepada yang gaib adalah yang tidak kita lihat dan tidak kita
saksikan, namun kita hanya mengimaninya saja karena ada kabar dari Allah dan
kabar dari Rasul-Nya.
Inilah
keimanan yang mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir,
karena itulah pembenaran yang utuh terhadap Allah dan Rasul-Nya. Maka seorang
yang beriman adalah yang mengimani segala sesuatu yang dikabarkan oleh Allah
atau yang dikabarkan oleh Rasul-Nya, baik yang dia saksikan ataupun tidak, baik
dia mampu memahami dan masuk dalam akalnya, ataupun akal dan pemahamannya tidak
mampu mencernanya. Berbeda dengan orang-orang atheis yang mendustakan
perkara-perkara gaib, karena akal-akal mereka yang terbatas lagi lalai tidak
sampai kepadanya, akhirnya mereka mendustakan apa yang tidak mampu dipahami
oleh ilmu mereka, yang pada akhirnya rusaklah akal-akal mereka, sia-sialah
harapan mereka, dan (sebaliknya) bersihlah akal kaum Mukminin yang membenarkan
lagi mengambil hidayah dengan petunjuk Allah.
Dan
termasuk dalam keimanan kepada yang gaib adalah keimanan kepada seluruh kabar
yang diberitakan oleh Allah dari hal-hal gaib yang terdahulu maupun yang akan
datang, kondisi-kondisi Hari Akhirat, hakikat sifat-sifat Allah , dan kabar
yang diberitakan oleh Rasul-Nya tentang semua itu; di mana mereka beriman
kepada sifat-sifat Allah dan keberadaannya, dan mereka meyakininya walaupun
mereka tidak mampu memahami cara dan bentuknya.
Kemudian
Allah berfirman { وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ} “yang mendirikan
shalat”. Dia tidak berfirman, ‘yang mengerjakan shalat’, atau ‘yang
menjalankan shalat’, karena sesungguhnya tidaklah cukup hanya sekadar
menjalankan dengan bentuknya yang lahir saja, karena mendirikan shalat yang
dimaksud adalah mendirikan shalat secara lahir dengan menyempurnakan
rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya dan syarat-syaratnya, dan juga
mendirikannya secara batin dengan mendirikan ruhnya yaitu dengan menghadirkan
hari padanya, merenungi apa yang dibaca dan mengamalkannya. Maka shalat inilah
yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
{ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ }
“Sesungguhnya salat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S.
Al-Ankabut: 45)
Yaitu
shalat yang memperoleh ganjaran. Maka tidak ada ganjaran bagi seorang hamba
dari shalatnya kecuali apa yang dia pahami darinya, dan termasuk dalam shalat
di sini adalah yang wajib maupun yang sunnah.
Kemudian
Allah berfirman { وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ} “Dan menafkahkan
sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” Termasuk di dalamnya
nafkah-nafkah yang wajib, seperti zakat, nafkah atas istri, keluarga dan para
budak dan sebagainya, dan nafkah-nafkah yang dicintai dengan segala jalan
kebaikan. Dan tidak disebutkannya hal-hal yang diinfakkan karena banyaknya
sebab-sebabnya dan bermacam-macam penerimanya, dan karena nafkah itu pada
dasarnya adalah sebuah ibadah kepada Allah. Dia juga disebutkan dengan kata “dari”
yang menunjukkan makna sebagian, demi mengingatkan mereka bahwasanya Allah
tidak menghendaki dari mereka kecuali sebagian kecil saja dari harta-harta
mereka yang tidak akan memudaratkan mereka dan tidak akan pula memberatkan
mereka, bahkan mereka akan mengambil manfaat dari infak mereka tersebut, dan
saudara-saudara mereka juga akan dapat mengambil manfaat darinya.
Dan
dalam firman Allah, { رَزَقْنَاهُمْ } “Rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka,” terkandung
sebuah isyarat bahwa harta yang ada di hadapanmu ini tidaklah diperoleh dari
kekuatan dan kepemilikanmu, akan tetapi itu semua adalah rizki Allah yang
dianugerahkan kepada kalian dan diberikan-Nya nikmat itu atas kalian. Maka
karena nikmat yang diberikan oleh Allah atas kalian dan kemurahan-Nya terhadap
kalian dibanding banyak hamba-hamba-Nya yang lain, maka bersyukurlah kepada-Nya
dengan mengeluarkan sebagian nikmat yang diberikan atas kalian tersebut, dan
hiburlah saudara-saudara kalian yang tidak memilikinya.
Dan
sangatlah banyak sekali Allah menyatukan (menyandingkan) shalat dengan zakat
dalam Al-Qur’an, karena shalat itu mengandung keikhlasan hanya kepada Dzat yang
disembah, sedangkan zakat dan nafkah mengandung berbuat baik kepada sesama hamba-hamba-Nya.
Maka tanda dari kebahagiaan seorang hamba adalah keikhlasannya kepada Dzat yang
disembah dan usahanya dalam memberikan manfaat kepada manusia, sebagaimana
tanda kesengsaraan seorang hamba adalah tidak adanya kedua perkara tersebut
pada dirinya, tidak ada keikhlasan dan tidak pula perbuatan baik kepada sesama.
Terjemahan tafsir
mengandalkan kitab Tafsir Al-Qur'an (Tafsir As-Sa'dy) cetakan Pustaka Shahifa.
Disusun dan ditulis oleh
Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment