Wednesday, February 27, 2013

PERILAKU JAHILIYAH: 14 Menganggap Jikalau Ia Benar, Niscaya Mereka Lebih Berhak




Menilai batilnya sesuatu dengan dalil seandainya sesuatu itu benar niscaya mereka lebih berhak terhadapnya.

Allah berfirman:

{ وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَوْ كَانَ خَيْرًۭا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيْهِ ۚ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا۟ بِهِۦ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَآ إِفْكٌۭ قَدِيمٌۭ}

“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: "Kalau sekiranya dia (Al Qur'an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: "Ini adalah dusta yang lama".” (Q.S. Al-Ahqaf: 11)

Setelah firman Allah:

{ قُلْ أَرَءَيْتُمْ إِن كَانَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ وَكَفَرْتُم بِهِۦ وَشَهِدَ شَاهِدٌۭ مِّنۢ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ مِثْلِهِۦ فَـَٔامَنَ وَٱسْتَكْبَرْتُمْ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ}

“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al Qur'an itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israel mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur'an lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim".” (Q.S. Al-Ahqaf: 10)





Sumber: Syarh Masaail Al-Jahiliyyah, Mahmud Syukry Al-Alusy
Penerjemah: Agus Hasan Bashory
Diketik ulang dari buku ‘Mewaspadai 100 Perilaku Jahiliyah’

PERILAKU JAHILIYAH: 13 Enggan Ikuti Kebenaran Karena Telah Diikuti Kaum Dhuafa’


Termasuk perkara Jahiliyyah adalah berpaling dari mengikuti kebenaran yang telah diikuti oleh kaum dhuafa’ karena kesombongan dan kecongkakan.

Maka Allah membantah mereka dengan firman-Nya dalam surat Al-An’am:

{ وَلَا تَطْرُدِ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِم مِّن شَىْءٍۢ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِم مِّن شَىْءٍۢ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ (52) وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍۢ لِّيَقُولُوٓا۟ أَهَٰٓؤُلَآءِ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنۢ بَيْنِنَآ ۗ أَلَيْسَ ٱللَّهُ بِأَعْلَمَ بِٱلشَّٰكِرِينَ (53)}

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang lalim. Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?"” (Q.S. Al-An’am: 52-53)

Semisal dengan ini adalah firman-Nya:

{ عَبَسَ وَتَوَلَّىٰٓ (1) أَن جَآءَهُ ٱلْأَعْمَىٰ(2)}

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.” (Q.S. Abasa: 1-2)

Inti bantahan kepada mereka adalah sesungguhnya orang yang beriman dari kaum dhuafa’ itu mendasarkan keimanannya keada bukti, tidak seperti yang diklaim oleh musuh-musuh mereka. Engkau tidaklah bertanggung jawab tentang mereka dan mereka tidak bertanggung jawab tentang hisabmu, maka mengusir mereka dari pintu keimanan adalah suatu kezaliman.





Sumber: Syarh Masaail Al-Jahiliyyah, Mahmud Syukry Al-Alusy
Penerjemah: Agus Hasan Bashory
Diketik ulang dari buku ‘Mewaspadai 100 Perilaku Jahiliyah’




PERILAKU JAHILIYAH: 12 Menuduh Tidak Ikhlasnya Pengikut Kebenaran


Termasuk sifat orang-orang Jahiliyyah adalah menuduh orang-orang yang mengikuti kebenaran sebagai orang yang tidak ikhlas dan berambisi mencari dunia. Maka Allah Ta’ala membantah mereka dengan sabda Nabi-Nya yang Dia ceritakan dalam kisah Nuh alaihissalam:

{ قَالُوٓا۟ أَنُؤْمِنُ لَكَ وَٱتَّبَعَكَ ٱلْأَرْذَلُونَ (111) قَالَ وَمَا عِلْمِى بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ (112) إِنْ حِسَابُهُمْ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّى ۖ لَوْ تَشْعُرُونَ (113) }

“Mereka berkata: "Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?" Nuh menjawab: "Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan? Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu menyadari.” (Q.S. Asy-Syu’ara: 111-113)

Maksud mereka, “Para pengikutmu itu kaum fakir miskin. Mereka beriman kepadamu untuk mendapatkan kehidupan yang mereka inginkan. Keimanan mereka bukan karena dalil yang membuktikan kebenaran ajaran yang kau bawa.” Karena itu, Allah membantah mereka dengan bantahan di atas.







Sumber: Syarh Masaail Al-Jahiliyyah, Mahmud Syukry Al-Alusy
Penerjemah: Agus Hasan Bashory
Diketik ulang dari buku ‘Mewaspadai 100 Perilaku Jahiliyah’

PERILAKU JAHILIYAH: 11 Menilai Sesuatu Itu Batil Karena Pengikutnya Kaum Dhuafa’


Menilai bahwa sesuatu itu batil dengan dalil bahwa sesuatu itu diambil (diterima dan diikuti) oleh kaum dhuafa’ (lemah) dan bahwa pemahaman mereka itu dangkal. Hal ini ditunjukkan oleh kaum Nabi Nuh kepada beliau sebagaimana yang telah dikisahkan dalam Al-Qur’an.

Allah berfirman dalam surat Asy-Syu’ara’:


{ كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ ٱلْمُرْسَلِينَ (105) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ نُوحٌ أَلَا تَتَّقُونَ (106) إِنِّى لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌۭ (107) فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُونِ  (108) وَمَآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِىَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ (109) فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُونِ (110) ۞ قَالُوٓا۟ أَنُؤْمِنُ لَكَ وَٱتَّبَعَكَ ٱلْأَرْذَلُونَ (111) قَالَ وَمَا عِلْمِى بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ (112) إِنْ حِسَابُهُمْ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّى ۖ لَوْ تَشْعُرُونَ (113) وَمَآ أَنَا۠ بِطَارِدِ ٱلْمُؤْمِنِينَ (114) إِنْ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٌۭ مُّبِينٌۭ (115)}

“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku". Mereka berkata: "Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?" Nuh menjawab: "Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan? Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu menyadari. Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. Aku (ini) tidak lain melainkan pemberi peringatan yang menjelaskan".” (Q.S. Asy-Syuara: 105-115)

Coba perhatikan kaum Nabi Nuh, mereka menolak untuk mengikuti Nabi mereka lantaran para penghuninya adalah kaum dhuafa’. Hal ini disebabkan orientasi mereka hanyalah dunia (materi) semata. Sebab jika Akhirat yang menjadi visi mereka, tentu mereka telah mengikuti kebenaran di mana pun mereka mendapatkannya. Akan tetapi karena kejahiliyyahan mereka, mereka pun berpaling dari kebenaran demi memperturutkan kepentingan nafsu mereka.

Tuesday, February 26, 2013

Jangan Direpotkan Oleh Rizki Dan Ajal



Pusatkanlah pikiran Anda untuk bisa mengerjakan segala yang diperintahkan kepada Anda. Jangan sibukkan ia dengan urusan rizki dan ajal; karena rizki dan ajal adalah dua hal yang sudah pasti akan menyertai hidup Anda. Selama Anda masih hidup, rizki pasti datang menyapa. Apabila Allah, dengan hikmah-Nya, menutup satu pintu rizki niscaya Dia akan membukakan bagi Anda, dengan rahmat-Nya, pintu rizki lain yang lebih bermanfaat dari pintu sebelumnya.

Renungkanlah bagaimana janin memperoleh makanan –berupa darah- hanya dari satu jalan, yaitu melalui tali pusarnya. Setelah, janin itu keluar dari perut ibunya dan perantara makanan tadi telah diputus, dibukalah bagi janin ini dua jalan untuk mendapatkan rizki yang lebih baik dan lebih lezat; yaitu air susu murni yang mudah ditelan.

Sesudah sempurna masa penyusuan dan kedua jalan tersebut diputus telah sampai masa penyapihan, Allah pun membuka empat jalan lain yang lebih sempurna, yaitu dua makanan dan dua minuman. Dua makanan yang dimaksud adalah hewan dan tumbuhan, sedangkan dua minuman itu berupa air dan susu; serta berbagai nutrisi tubuh lainnya yang bermanfaat dan lezat.

Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah keempat perantara rizki di atas baginya. Akan tetapi, jika ia termasuk golongan yang berbahagia maka Allah akan membukakan baginya delapan jalan lagi, yaitu pintu-pintu Surha yang berjumlah delapan. Hamba tersebut kelak dapat memasuki Surga itu dari pintu mana saja yang dikehendakinya.

Demikianlah. Apabilah Allah Ta’ala menahan satu kenikmatan dunia dari hamba-Nya yang beriman, niscaya Dia menggantinya dengan nikmat yang lebih baik dan bermanfaat baginya.




Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Diambil dari kitab Fawaidul Fawaid, cetakan Pustaka Imam Syafi'i

PERILAKU JAHILIYAH: 10 Berhujjah Bahwa Karunia Duniawi Menunjukkan Kecintaan Allah

Berargumentasi bahwa karunia duniawi sejatinya menunjukkan kecintaan Allah Ta’ala. Allah berfirman:

{ وَمَآ أَرْسَلْنَا فِى قَرْيَةٍۢ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَآ إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ (34) وَقَالُوا۟ نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَٰلًۭا وَأَوْلَٰدًۭا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ (35) قُلْ إِنَّ رَبِّى يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (36) وَمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَلَآ أَوْلَٰدُكُم بِٱلَّتِى تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰٓ إِلَّا مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحًۭا فَأُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ جَزَآءُ ٱلضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا۟ وَهُمْ فِى ٱلْغُرُفَٰتِ ءَامِنُونَ (37) وَٱلَّذِينَ يَسْعَوْنَ فِىٓ ءَايَٰتِنَا مُعَٰجِزِينَ أُو۟لَٰٓئِكَ فِى ٱلْعَذَابِ مُحْضَرُونَ (38) قُلْ إِنَّ رَبِّى يَبْسُطُ ٱلرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ وَيَقْدِرُ لَهُۥ ۚ وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن شَىْءٍۢ فَهُوَ يُخْلِفُهُۥ ۖ وَهُوَ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ (39) }

“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya". Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab. Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). Dan orang-orang yang berusaha (menentang) ayat-ayat Kami dengan anggapan untuk dapat melemahkan (menggagalkan azab Kami), mereka itu dimasukkan ke dalam azab. Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.”  (Q.S. Saba’: 34-39)

Allah berfirman dalam Surat Al-Qashash:

{ وَمَا كُنتَ بِجَانِبِ ٱلطُّورِ إِذْ نَادَيْنَا وَلَٰكِن رَّحْمَةًۭ مِّن رَّبِّكَ لِتُنذِرَ قَوْمًۭا مَّآ أَتَىٰهُم مِّن نَّذِيرٍۢ مِّن قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (46) وَلَوْلَآ أَن تُصِيبَهُم مُّصِيبَةٌۢ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا۟ رَبَّنَا لَوْلَآ أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًۭا فَنَتَّبِعَ ءَايَٰتِكَ وَنَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ (47) فَلَمَّا جَآءَهُمُ ٱلْحَقُّ مِنْ عِندِنَا قَالُوا۟ لَوْلَآ أُوتِىَ مِثْلَ مَآ أُوتِىَ مُوسَىٰٓ ۚ أَوَلَمْ يَكْفُرُوا۟ بِمَآ أُوتِىَ مُوسَىٰ مِن قَبْلُ ۖ قَالُوا۟ سِحْرَانِ تَظَٰهَرَا وَقَالُوٓا۟ إِنَّا بِكُلٍّۢ كَٰفِرُونَ (48) قُلْ فَأْتُوا۟ بِكِتَٰبٍۢ مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ هُوَ أَهْدَىٰ مِنْهُمَآ أَتَّبِعْهُ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ (49) فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا۟ لَكَ فَٱعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَآءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيْرِ هُدًۭى مِّنَ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ (50)}

“Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (Kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat. Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mukmin" Maka tatkala datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata: "Mengapakah tidak diberikan kepadanya (Muhammad) seperti yang telah diberikan kepada Musa dahulu?". Dan bukankah mereka itu telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan kepada Musa dahulu?; mereka dahulu telah berkata: "Musa dan Harun adalah dua ahli sihir yang bantu membantu". Dan mereka (juga) berkata: "Sesungguhnya Kami tidak mempercayai masing-masing mereka itu'. Katakanlah: "Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al Qur'an) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar". Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Q.S. Al-Qashash: 46-50)

PERILAKU JAHILIYAH: 09 Berhujjah Dengan Kaum Yang Punya Kekuasaan, Nalar dan Harta


Ber-istidlal (mengajukan dalil) dan ber-hujjah (mengajukan hujjah) atas suatu keinginan dengan kaum yang telah diberikan kekuatan pemahaman dan nalar, kekuasaan dan kerajaan; dengan anggapan bahwa yang demikian itu dapat mencegah mereka dari kesesatan.

Maka Allah membantah mereka dengan firman-Nya dalam surat Al-Ahqaf:

{ فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًۭا مُّسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا۟ هَٰذَا عَارِضٌۭ مُّمْطِرُنَا ۚ بَلْ هُوَ مَا ٱسْتَعْجَلْتُم بِهِۦ ۖ رِيحٌۭ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌۭ (24) تُدَمِّرُ كُلَّ شَىْءٍۭ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا۟ لَا يُرَىٰٓ إِلَّا مَسَٰكِنُهُمْ ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْقَوْمَ ٱلْمُجْرِمِينَ (25) وَلَقَدْ مَكَّنَّٰهُمْ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًۭا وَأَبْصَٰرًۭا وَأَفْـِٔدَةًۭ فَمَآ أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ أَبْصَٰرُهُمْ وَلَآ أَفْـِٔدَتُهُم مِّن شَىْءٍ إِذْ كَانُوا۟ يَجْحَدُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ (26)}

Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: "Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami". (Bukan)! bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit jua pun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.”(Q.S. Al-Ahqaf: 24-26)

Sebagaimana juga firman Allah:

{ أَلَمْ يَرَوْا۟ كَمْ أَهْلَكْنَا مِن قَبْلِهِم مِّن قَرْنٍۢ مَّكَّنَّٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّن لَّكُمْ }

“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu.” (Q.S. Al-An’am: 6)

Monday, February 25, 2013

15 Ucapan Imam Abu Hanifah Tentang Qadar



[1] Seorang pria pernah datang kepada Abu Hanifah untuk berdebat masalah qadar. Maka beliau berkata kepadanya:

«أما علمت أن الناظر في القدر كالناظر في عيني الشمس كلما ازداد نظرًا ازداد تحيرًا»

“Tidakkah kau tahu, bahwa orang yang memandang masalah qadar itu laksana orang yang memandang matahari, semakin dalam ia memandang semakin pusing.”[1]



[2] Imam Abu Hanifah berkata:

«وكان الله تعالى عالمًا في الأزل بالأشياء قبل كونها»

“Allah Ta’ala mengetahui dalam azali tentang segala urusan sebelum sesuatu tersebut ada.”[2]



[3] Imam Abu Hanifah berkata:

«يعلم الله تعالى المعدوم في حالة عدمه معدومًا ويعلم أنه كيف يكون إذا أوجده، ويعلم الله تعالى الموجود في حال وجوده موجودًا ويعلم كيف يكون فناؤه»

“Allah Ta’ala Maha Mengetahui yang tidak ada pada saat tidak adanya sebagai sesuatu yang tidak ada, dan Allah Maha Mengetahui bagaimana keadaan sesuatu yang tidak ada tersebut ketika Ia adakan. Allah Ta’ala pun mengetahui sesuatu yang ada ketika ia ada sebagai sesuatu yang ada, dan Ia Maha Mengetahui bagaimana keadaan binasa (tidak ada)nya.”[3]



[4] Imam Abu Hanifah berkata:

«وقدره في اللوح المحفوظ»

“QadarNya ada di Lauh Mahfuzh.”[4]



[5] Imam Abu Hanifah berkata:

«ونقر بأن الله تعالى أمر بالقلم أن يكتب فقال القلم، ماذا أكتب يا رب؟ فقال الله تعالى: اكتب ما هو كائن إلى يوم القيامة »

“Kita mengakui bahwa Allah Ta’ala menyuruh pena untuk menulis,maka pena berkata, ‘Ya Rabbi, apa yang aku tulis?’ Allah Ta’ala berfirman, “Tulislah apa saja yang terjadi sampai hari Kiamat.””
“Kita mengimani ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

{وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ * وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ}

“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tertulis dalam buku-buku catatatn. Dan segala (urusan) yang kecil dan yang besar adalah tertulis.” (Q.S. Al-Qamar: 52-53)[5]

Saturday, February 23, 2013

Ayat Aqidah: Beriman Kepada Yang Ghaib



 {ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ }



 “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,” (Q.S. Al-Baqarah: 3)


Kosakata

[يُؤْمِنُونَ] : Mereka beriman

[ٱلْغَيْبِ] : Hal/sesuatu yang gaib, yaitu yang sejatinya tak dijangkau oleh panca indera. Dalam hal ini, termaksudkan di antaranya adalah Rabb secara Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, para malaikat, dan lainnya.

[الصلاة] : Shalat, dengan menjaganya tepat pada waktunya, juga syarat-syarat sahnya, rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya dan hal-hal yang terkait dengannya.

[يُنْفِقُونَ] : Mereka berinfak


TAFSIR (Tafsir As-Sa’dy):


{الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ} “Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib”. Hakikat keimanan adalah pembenaran yang total terhadap apa pun yang dikabarkan oleh para Rasul, yang meliputi ketundukan anggota tubuh. Perkara keimanan itu tidak hanya kepada hal-hal yang dapat diperoleh oleh panca indera semata, karena hal ini tidaklah mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, namun perkara yang dianggap dalam keimanan kepada yang gaib adalah yang tidak kita lihat dan tidak kita saksikan, namun kita hanya mengimaninya saja karena ada kabar dari Allah dan kabar dari Rasul-Nya.
 

Allah Di Atas Arsy Di Langit



Firman Allah Ta’ala:

{ وَهُوَ ٱللَّهُ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَفِى ٱلْأَرْضِ ۖ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ}
“Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (Q.S. Al-An’am: 3)

Pembaca yang budiman, banyak orang Islam bila ditanya dimana Allah, dijawab, Allah ada dimana saja, lalu menunjukkan ayat di atas sebagai dalilnya dan disertai ayat-ayat lain. Pendapat ini salah.

Ibnu Katsir berkata, para ahli tafsir berbeda faham mengenai ayat di atas, akan tetapi mereka sepakat mengingkari pendapat golongan Jahmiyah (kelompok sesat) yang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat atau ada di mana saja, dan mereka merujuk kepada ayat di atas sebagai dalilnya.

Pendapat yang paling benar adalah Allah adalah Dzat yang disembah dan diesakan di langit dan di bumi, diakui ketuhanannya oleh manusia di bumi dan para malaikat di langit. Mereka menyebut-Nya “Allah”. Mereka menyeru-Nya dengan rasa harap dan takut kecuali makhluk kafir dari golongan jin dan manusia. Ayat itu semakna dengan ayat berikut:

Syahadat dan Tauhid Kala Hadapi Kematian


Syahadat atau kesaksian ketika menghadapi kematian; bahwasanya tiada ilah (sembahan) yang berhak diibadahi selain Allah, berpengaruh besar dalam menghapus dan menggugurkan dosa-dosa hamba. Sebab, kesaksian ketika masa ini lahir dari seorang hamba yang meyakini serta mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Ia muncul setelah semua dorongan syahwat mati dan kejahatan nafsu tunduk meski sebelumnya nafsu itu membangkang dan durhaka. Nafsu itu kini patuh setelah sempat berpaling, lantas menjadi hina setelah kepongahannya sirna.

Ketika itu, ketamakan hamba terhadap dunia dan segala keindahannya juga terlepas darinya. Ia tunduk serendah-rendahnya di hadapan Rabb, Pencipta dan Penguasanya Yang Haq, dalam keadaan sangat membutuhkan pengampunan dan rahmat-Nya.

Melalui syahadat ini, tauhid hamba menjadi bersih karena pintu-pintu kemusyrikan dan hal-hal yang merusak tauhidnya telah terlepas darinya; sehingga, segala pertentangan batin yang menggoyahkan tauhidnya selama ini hilang darinya. Dengan kemurnian tauhid ini, keinginannya hanya terfokus pada Dzat yng diyakini akan ia datangi dan sebagai satu-satunya tempat kembali. Karena itulah, hamba tersebut lalu menghadapkan wajah di hadapan-Nya dengan hati, roh, dan asanya; dan menyerahkan dirinya secara lahir dan btin. Dengan kalimat ini pula lahir dan batinnya menjadi sama.

Pada kondisi demikian, hamba tersebut mengucapkan laa ilaaha illallaah (tiada ilah yang haq selain Allah) dengan penuh keikhlasan dari lubuk hati yang terdalam; hati yang telah lepas dari segala ikatan dan perhatian kepada selain Allah. Dengan ucapan ini, semua uurusan duniawi pergi meninggalkan hati hamba tersebut, dan ia pun telah siap untuk menghadap Rabbnya. Kobaran api syahwatnya telah padam. Hatinya terfokus pada urusan akhirat yang sudah berada di pelupuk mata. Sementara itu, dunia ditinggalkan jauh di belakangnya.

Ucapan syahadat yang murni itu pun menjadi penutup amal hamba tersebut, membersihkan dirinya dari segala dosa serta mengantarkannya kepada Rabbnya. Semua itu karena ia menemui Rabbnya dengan membawa persaksian yang tulus; yang lahirnya sama dengan batinnya, yang tersembunyi sama seperti yang tampak.

Seandainya syahadat seperti ini diperoleh seorang hamba semasa sehatnya (ketika masih hidup), niscaya ia tidak akan merasa nyaman dengan dunia dan seisinya. Ia akan menjauhi manusia untuk berlari kepada Allah. Ia hanya akan nyaman bersama-Nya, tidak dengan selain-Nya. Akan tetapi, manusia pada umumnya mengucapkan syahadat di dunia dengan hati yang masih dipenuhi dengan hawa nafsu, cinta dunia, dan segala hal yang mendorong kepada keduanya. Dia bersyahadar dengan jiwa yang masih disesaki oleh tuntutan duniawi dan orientasi pada selain Allah. Padahal, seandainya syahadat seseorang (ketika masih sehat) benar-benar murni seperti ketika ia menghadapi kematian, niscaya syahadatnya itu akan memberikan berita dan kehidupan yang sama sekali berbeda dengan kondisinya yang seperti binatang. Hanya kepada Allahlah kita memohon perlindungan.



Sumber: Fawaaid Al-Fawaaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Diketik ulang dari kitab Fawaidul Fawaid cetakan Pustaka Imam Syafi'i

Wednesday, February 20, 2013

25 Ucapan Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid


 25 Ucapan Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid

Pertama: Aqidah Abu Hanifah dalam masalah Tauhiidullah (Mengesakan Allah) dan Masalah Tawassul Syar’I  dan Tawassul  yang bid’ah:

[1] Imam Abu Hanifah berkata:

“Tidak patut bagi seseorang untuk berdoa kecuali kepada Allah Ta’ala, dengan doa yang dibolehkan lagi diperintahkan, sebagaimana yang dapat diambil dari firman Allah Ta’ala berikut ini:

{وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Dan Hanya milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-A’raf: 180) [1]

[2] Imam Abu Hanifah berkata:

«يكره أن يقول الداعي أسألك بحق فلان أو بحق أنبيائك ورسلك وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام»

“Dimakruhkan (dibenci) seseorang berdoa dengan mengucapkan, ‘Aku memohon kepada-Mu dengan hak dan kebesaran si fulan.’ Atau mengatakan, ‘Aku memohon kepada-Mu dengan hak dan kebesaran Al-Bait Al-Haraam dan Al-Ma’syar Al-Haraam.’[2]

[3] Imam Abu Hanifah berkata: