Wednesday, February 20, 2013

25 Ucapan Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid


 25 Ucapan Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid

Pertama: Aqidah Abu Hanifah dalam masalah Tauhiidullah (Mengesakan Allah) dan Masalah Tawassul Syar’I  dan Tawassul  yang bid’ah:

[1] Imam Abu Hanifah berkata:

“Tidak patut bagi seseorang untuk berdoa kecuali kepada Allah Ta’ala, dengan doa yang dibolehkan lagi diperintahkan, sebagaimana yang dapat diambil dari firman Allah Ta’ala berikut ini:

{وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Dan Hanya milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-A’raf: 180) [1]

[2] Imam Abu Hanifah berkata:

«يكره أن يقول الداعي أسألك بحق فلان أو بحق أنبيائك ورسلك وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام»

“Dimakruhkan (dibenci) seseorang berdoa dengan mengucapkan, ‘Aku memohon kepada-Mu dengan hak dan kebesaran si fulan.’ Atau mengatakan, ‘Aku memohon kepada-Mu dengan hak dan kebesaran Al-Bait Al-Haraam dan Al-Ma’syar Al-Haraam.’[2]

[3] Imam Abu Hanifah berkata:


«لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به وأكره أن يقول بمعاقد العز من عرشك ، أو بحق خلقك»

“Tidak patut bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah kceuali dengan (menyebut)Nya, dan aku membenci seseorang yang mengucapkan dalam doanya, ‘Aku memohon kepada-Mu dengan “Ma’aaqid Al-Izz” (tempat-tempat lengkungan kekuatan) dari Arsy-Mu, atau dengan hak makhluk-Mu’.”[3]

Kedua: Ucapan Imam Abu Hanifah tentang penetapan sifat-sifat bagi Allah dan sanggahannya terhadap Jahmiyyah.

[4] Imam Abu Hanifah berkata:

«لا يوصف الله تعالى بصفات المخلوقين، وغضبه ورضاه صفتان من صفاته بلا كيف، وهو قول أهل السُّنَّة والجماعة وهو يغضب ويرضى ولا يقال: غضبه عقوبته ورضاه ثوابه، ونصفه كما وصف نفسه أحدٌ صمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوًا أحد، حيٌّ قادر سميع بصير عالم، يد الله فوق أيديهم ليست كأيدي خلقه ووجهه ليس كوجوه خلقه»

“Allah Ta’ala tidak layak disifati dengan sifat-sifat segenap makhluk. Benci dan ridha-Nya adalah dua dari sifat-sifat-Nya, tanpa kita tanyakan bagaimana hakikatnya. Inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jadi, Allah itu membenci (marah) dan meridhai. Namun tidak boleh kita katakan, ‘kebencian-Nya adalah siksa-Nya, dan keridhaan-Nya adalah pahala-Nya’. Kita menyifati Allah sebagaimana Ia menyifati diri-Nya, yaitu: Dia Maha Esa, Dzat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. Ia Hidup lagi Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat lagi Maha Mengetahui. Tangan Allah di atas tangan mereka (para makhluk) dan tidak sama dengan tangan mereka. Wajah-Nya tidak sama dengan wajah makhluk-Nya.”[4]

[5] Imam Abu Hanifah berkata:

«وله يد ووجه ونفس، كما ذكره الله تعالى في القرآن، فما ذكره الله تعالى في القرآن من ذكر الوجه واليد والنفس، فهو له صفات بلا كيف ولا يقال إن يده قدرته أو نعمته، لأن فيه إبطال الصفة وهو قول أهل القدر والاعتزال»

“Allah itu mempunyai tangan, wajah dan diri sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Qur’an. Maka apa yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an tentang tangan, wajah, dan diri merupakan sifat-sifat-Nya dengan tidak ditanyakan tentang hakikatnya. Kita tidak boleh mengatakan bahwa tangan Allah itu adalah kekuasaan atau nikmat-Nya, karena jika kita mengatakan demikian, berarti meniadakan sifat-sifat tersebut, dan inilah pendapat Ahli Qadar (Al-Qadariyyah) dan Mu’tazilah.”[5]

[6] Imam Abu Hanifah berkata:

«لا ينبغي لأحد أن ينطق في ذات الله بشيء بل يصفه بما وصف به نفسه ولا يقول فيه برأيه شيئًا تبارك الله وتعالى رب العالمين»

“Tidak patut bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu tentang dzat Allah kecuali menyifati-nya dengan sifat-sifat yang Ia berikan pada dirinya, dan tidak boleh seseorang mengatakan sesuatu tentang Allah dengan pendapatnya. Maha Suci serta Maha Tinggi Allah Ta’ala, Rabb semesta alam.” [6]

[7] Ketika Imam Abu Hanifah ditanya tentan nuzul Al-Ilah (turunnya Allah), ia menjawab, “Ia turun dengan tidak kita tanyakan bagaimana caranya.”[7]

[8] Imam Abu Hanifah berkata:

«والله تعالى يدعى من أعلى لا من أسفل لأن الأسفل ليس من وصف الربوبية والألوهية في شيء»

“Allah Ta’ala itu diseru dari atas, tidak dari bawah, karena bawah itu sama sekali bukan sifat Rububiyyah dan Uluhiyyah.”[8]

[9] Imam Abu Hanifah berkata:

«وهو يغضب ويرضى ولا يقال غضبه عقوبته ورضاه ثوابه»

“Allah membenci dan meridhai, namun tidak boleh dikatakan bahwa benci-Nya (murka-Nya) adalah siksa-Nya, dan ridha-Nya adalah pahala-Nya.” [9]

[10] Imam Abu Hanifah berkata:

«ولا يشبه شيئًا من الأشياء من خلقه ولا يشبه من خلقه لم يزل ولا يزال بأسمائه وصفاته»

“Ia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk ciptaan-Nya, dan Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Ia tetap dan akan selalu tetap dengan asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat-Nya.”[10]

[11] Imam Abu Hanifah berkata:

«وصفاته بخلاف صفات المخلوقين يعلم لا كعلمنا، ويقدر لا كقدرتنا، ويرى لا كرؤيتنا، ويسمع لا كسمعنا، ويتكلم لا ككلامنا»

“Sifat-sifat-Nya berbeda dengan sifat-sifat para makhluk. Ia mengetahui, tapi tidak seperti pengetahuan kita. Ia berkuasa, tapi berbeda dengan kekuasaan kita. Dan Ia berbicara tidak seperti berbicaranya kita.”[11]

[12] Imam Abu Hanifah berkata:

«لا يوصف الله تعالى بصفات المخلوقين»

“Allah Ta’ala tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk.”[12]

[13] Imam Abu Hanifah berkata:

«ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر»

“Dan barangsiapa menyifati Allah dengan makna dari makna-makna manusia maka ia telah kafir.”[13]

[14] Imam Abu Hanifah berkata:

«وصفاته الذاتية والفعلية، أما الذاتية فالحياة والقدرة والعلم والكلام والسمع والبصر والإرادة، وأما الفعلية فالتخليق والترزيق والإنشاء والإبداع والصنع وغير ذلك من صفات الفعل لم يزل ولا يزال بأسمائه وصفاته»

“Allah mempunyai sifat Dzatiyyah  dan Fi’liyyah. Adapun sifat-sifat Dzatiyyah-nya Allah ialah Al-Hayaah (Hidup), Al-Qudrah (Berkuasa), Al-Ilmu (Mengetahui), Al-Kalaam (berbicara), As-Sam’ (Mendengar), Al-Bashar (Melihat), Al-Iradah (Berkehendak).

Sedang sifat-sifat Fi’liyyah-Nya Allah ialah Mencipta, Memberi rizki, Membikin, Menumbuhkan dan lain-lain. Ia tetap dan senantiasa tetap dengan asma’ dan sifat-sifat-Nya.”[14]

[15] Imam Abu Hanifah berkata:

«ولم يزل فاعلاً بفعله والفعل صفة في الأزل والفاعل هو الله تعالى والفعل صفة في الأزل والمفعول مخلوق وفعل الله تعالى غير مخلوق»
“Ia tetap aktif berbuat dengan perbuatan-Nya. Fi’il (perbuatan)-Nya merupakan sifat azaly (kekal tanpa ada permulaan). Sedang Fa’il (pelaku) adalah Allah Ta’ala. Fi’il-Nya adalah sifat azaly, Maf’ul (objek perbuatan)-Nya adalah makhluk, dan fi’lullah (perbuatan Allah) Ta’ala bukan makhluk.”[15]

[16] Imam Abu Hanifah berkata:

«من قال لا أعرف ربي في السماء أم في الأرض فقد كفر، وكذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض»

“Barangsiapa berkata, ‘Aku tak tahu Rabbku di langit apa di bumi, berarti ia kafir. Begitu juga seseorang menjadi kafir apabila mengatakan bahwa Allah itu ada di atas Arsy, tetapi aku tak tahu Arsy itu di langit atau di bumi.”[16]

[17] Imam Abu Hanifah berkata kepada seorang wanita yang bertanya, “Di manakah Ilahmu yang engkau sembah itu?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Allah ada di langit, bukan di bumi.” Lalu tampillah seorang pria mengajukan pertanyaan, “Bagaimana dengan ayat:

{وَهُوَ مَعَكُمْ}

“Dan dia (selalu) bersamamu.” (Q.S. Al-Hadid: 4) ?”

Abu Hanifah menjawab, “Dia seperti engkau menulis surat kepada seorang lelaki dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya aku selalu bersamamu, padahal engkau tidak ada di sampingnya.”[17]

[18] Imam Abu Hanifah berkata:

«يد الله فوق أيديهم ليست كأيدي خلقه»

“Tangan Allah di atas tangan makhluk-Nya, sedang tangan-Nya tidak seperti tangan makhluk-Nya.”[18]

[19] Imam Abu Hanifah berkata: “Allah itu di langit, bukan di bumi.” Maka tampillah seorang lelaki bertanya kepadanya, “Bagaimana pendapat tuan tentang ayat:

{وَهُوَ مَعَكُمْ}

“Dan dia (selalu) bersamamu.” (Q.S. Al-Hadid: 4) ?”

Ia menjawab, “Ia seperti engkau menulis surat kepada seseorang ‘Aku selalu bersamamu’, padahal engkau tidak bersamanya.”[19]

[20] Imam Abu Hanifah berkata:

«قد كان متكلمًا ولم يكن كلم موسى عليه السلام»

“Allah mempunyai sifat berbicara sebelum berbicara dengan Musa alaihissalam.”[20]
[21] Imam Abu Hanifah berkata:

«ومتكلمًا بكلامه والكلام صفة في الأزل»

“Allah berbicara dengan kalam (perkataan)Nya, dan kalam-Nya merupakan sifat azaly.” [21]

[22] Imam Abu Hanifah berkata:

«ويتكلم لا ككلامنا»

“Allah berbicara, namun tidak seperti bicaranya kita.” [22]

[23] Imam Abu Hanifah berkata:

“Musa alaihissalam telah mendengar kalam Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

{وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا}

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (Q.S. An-Nisa: 164)

Sedang Allah Ta’ala itu berbicara sebelum berbicara dengan Musa alaihissalam.”[23]

[24] Imam Abu Hanifah mengatakan:

«والقرآن كلام الله في المصاحف مكتوب وفي القلوب محفوظ، وعلى الألسن مقروء، وعلى النبي - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، أنزل»

“Dan AL-Qur’an adalah kalamullah, yang tertulis dalam mushaf, yang terpelihara di kalbu, dan dibca oleh banyak lisan, serta diturunkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”[24]

[25] Imam Abu Hanifah mengatakan:

«والقرآن غير مخلوق»

“Dan Al-Qur’an bukan makhluk.”[25]










[1] Ad-Durar Al-Mukhtaar Ma’a Haasyiyah Radd Al-Mukhtar, 6/396-397
[2] Syarh Al-Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 234; Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin, 2/285; Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 198
[3] At-Tawasul wa Al-Wasiilah, hal. 82; Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 198
[4] Al-Fiqh Al-Absath, hal. 56
[5] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 302
[6] Syarh Al-Aqiidah Ath-Thahawiyyah, 2/472, tahqiiq Dr. At-Turky; Jalaa’ Al-Ainain, hal. 368.
[7] Aqiidah As-Salaf Ashhaab Al-Hadiits, hal. 42; Al-Asmaa’ wa Ash-Shifaat, Al-Baihaqy, hal. 456; Syarh Al-Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 245, takhriij Al-Albany; Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 60
[8] AL-Fiqh Al-Absath, hal. 51
[9] AL-Fiqh Al-Absath, hal. 56
[10] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 301
[11] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 302
[12] Al-Fiqh Al-Absath, hal. 56
[13] Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, dengan ta’liq Syaikh Al-Albany, hal. 301
[14] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 301
[15] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 301
[16] Al-Fiqh Al-Absath, hal. 46. Lafadz seperti ini telah dikutip oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’ Al-Fataawa, 5/48, Ibnul Qayyim dalam Ijtimaa’ Juyuusy Al-Islamiyyah, hal. 139, Adz-Dzahaby dalam Al-Uluw, hal. 101-102, dan Ibnu Abil Izz dalam Syarh Al-Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 301.
[17] Al-Asmaa’ wa Ash-Shifaat, hal. 429
[18] Al-Fiqh Al-Absath, hal. 56
[19] Al-Asmaa’ wa Ash-Shifaat¸2/70
[20] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 302
[21] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 301
[22] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 302
[23] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 302
[24] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 301
[25] Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 301

--------------------------------


Sumber: I'tiqaad Al-A'immah Al-Arba'ah, Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais
ditulis ulang dari kitab Aqidah 4 Imam Madzhab, cet. GIP, 1995

No comments:

Post a Comment