25 Ucapan Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid
Pertama: Aqidah Abu
Hanifah dalam masalah Tauhiidullah (Mengesakan Allah) dan Masalah Tawassul
Syar’I dan Tawassul yang bid’ah:
[1] Imam
Abu Hanifah berkata:
“Tidak patut bagi seseorang untuk berdoa kecuali kepada
Allah Ta’ala, dengan doa yang dibolehkan lagi diperintahkan, sebagaimana
yang dapat diambil dari firman Allah Ta’ala berikut ini:
{وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Dan Hanya
milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaaulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-A’raf: 180) [1]
[2] Imam
Abu Hanifah berkata:
«يكره أن يقول الداعي أسألك بحق
فلان أو بحق أنبيائك ورسلك وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام»
“Dimakruhkan (dibenci) seseorang berdoa dengan mengucapkan, ‘Aku
memohon kepada-Mu dengan hak dan kebesaran si fulan.’ Atau mengatakan, ‘Aku
memohon kepada-Mu dengan hak dan kebesaran Al-Bait Al-Haraam dan Al-Ma’syar
Al-Haraam.’”[2]
[3] Imam
Abu Hanifah berkata:
«لا ينبغي لأحد أن يدعو الله
إلا به وأكره أن يقول بمعاقد العز من عرشك ، أو بحق خلقك»
“Tidak
patut bagi seseorang untuk berdoa kepada Allah kceuali dengan (menyebut)Nya,
dan aku membenci seseorang yang mengucapkan dalam doanya, ‘Aku memohon
kepada-Mu dengan “Ma’aaqid Al-Izz” (tempat-tempat lengkungan kekuatan) dari
Arsy-Mu, atau dengan hak makhluk-Mu’.”[3]
Kedua: Ucapan Imam Abu
Hanifah tentang penetapan sifat-sifat bagi Allah dan sanggahannya terhadap
Jahmiyyah.
[4] Imam
Abu Hanifah berkata:
«لا يوصف الله تعالى بصفات المخلوقين،
وغضبه ورضاه صفتان من صفاته بلا كيف، وهو قول أهل السُّنَّة والجماعة وهو يغضب ويرضى
ولا يقال: غضبه عقوبته ورضاه ثوابه، ونصفه كما وصف نفسه أحدٌ صمد لم يلد ولم يولد ولم
يكن له كفوًا أحد، حيٌّ قادر سميع بصير عالم، يد الله فوق أيديهم ليست كأيدي خلقه ووجهه
ليس كوجوه خلقه»
“Allah Ta’ala tidak layak disifati dengan sifat-sifat
segenap makhluk. Benci dan ridha-Nya adalah dua dari sifat-sifat-Nya, tanpa
kita tanyakan bagaimana hakikatnya. Inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Jadi, Allah itu membenci (marah) dan meridhai. Namun tidak boleh kita katakan, ‘kebencian-Nya
adalah siksa-Nya, dan keridhaan-Nya adalah pahala-Nya’. Kita menyifati
Allah sebagaimana Ia menyifati diri-Nya, yaitu: Dia Maha Esa, Dzat yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan, serta tak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. Ia Hidup lagi
Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat lagi Maha Mengetahui. Tangan Allah di
atas tangan mereka (para makhluk) dan tidak sama dengan tangan mereka.
Wajah-Nya tidak sama dengan wajah makhluk-Nya.”[4]
[5] Imam
Abu Hanifah berkata:
«وله يد ووجه ونفس، كما ذكره
الله تعالى في القرآن، فما ذكره الله تعالى في القرآن من ذكر الوجه واليد والنفس، فهو
له صفات بلا كيف ولا يقال إن يده قدرته أو نعمته، لأن فيه إبطال الصفة وهو قول أهل
القدر والاعتزال»
“Allah
itu mempunyai tangan, wajah dan diri sebagaimana Allah sebutkan dalam
Al-Qur’an. Maka apa yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an tentang tangan, wajah,
dan diri merupakan sifat-sifat-Nya dengan tidak ditanyakan tentang hakikatnya.
Kita tidak boleh mengatakan bahwa tangan Allah itu adalah kekuasaan atau
nikmat-Nya, karena jika kita mengatakan demikian, berarti meniadakan
sifat-sifat tersebut, dan inilah pendapat Ahli Qadar (Al-Qadariyyah) dan
Mu’tazilah.”[5]
[6] Imam
Abu Hanifah berkata:
«لا ينبغي لأحد أن ينطق في ذات
الله بشيء بل يصفه بما وصف به نفسه ولا يقول فيه برأيه شيئًا تبارك الله وتعالى رب
العالمين»
“Tidak
patut bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu tentang dzat Allah kecuali
menyifati-nya dengan sifat-sifat yang Ia berikan pada dirinya, dan tidak boleh
seseorang mengatakan sesuatu tentang Allah dengan pendapatnya. Maha Suci serta
Maha Tinggi Allah Ta’ala, Rabb semesta alam.” [6]
[7] Ketika
Imam Abu Hanifah ditanya tentan nuzul Al-Ilah (turunnya Allah), ia
menjawab, “Ia turun dengan tidak kita tanyakan bagaimana caranya.”[7]
[8] Imam
Abu Hanifah berkata:
«والله تعالى يدعى من أعلى لا
من أسفل لأن الأسفل ليس من وصف الربوبية والألوهية في شيء»
“Allah
Ta’ala itu diseru dari atas, tidak dari bawah, karena bawah itu sama
sekali bukan sifat Rububiyyah dan Uluhiyyah.”[8]
[9] Imam
Abu Hanifah berkata:
«وهو يغضب ويرضى ولا يقال غضبه
عقوبته ورضاه ثوابه»
“Allah
membenci dan meridhai, namun tidak boleh dikatakan bahwa benci-Nya (murka-Nya)
adalah siksa-Nya, dan ridha-Nya adalah pahala-Nya.” [9]
[10] Imam
Abu Hanifah berkata:
«ولا يشبه شيئًا من الأشياء من
خلقه ولا يشبه من خلقه لم يزل ولا يزال بأسمائه وصفاته»
“Ia
tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk ciptaan-Nya, dan Dia tidak menyerupai
makhluk-Nya. Ia tetap dan akan selalu tetap dengan asma’ (nama-nama) dan
sifat-sifat-Nya.”[10]
[11] Imam
Abu Hanifah berkata:
«وصفاته بخلاف صفات المخلوقين
يعلم لا كعلمنا، ويقدر لا كقدرتنا، ويرى لا كرؤيتنا، ويسمع لا كسمعنا، ويتكلم لا ككلامنا»
“Sifat-sifat-Nya
berbeda dengan sifat-sifat para makhluk. Ia mengetahui, tapi tidak seperti
pengetahuan kita. Ia berkuasa, tapi berbeda dengan kekuasaan kita. Dan Ia
berbicara tidak seperti berbicaranya kita.”[11]
[12] Imam
Abu Hanifah berkata:
«لا يوصف الله تعالى بصفات المخلوقين»
“Allah
Ta’ala tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk.”[12]
[13] Imam
Abu Hanifah berkata:
«ومن وصف الله بمعنى من معاني
البشر فقد كفر»
“Dan
barangsiapa menyifati Allah dengan makna dari makna-makna manusia maka ia telah
kafir.”[13]
[14] Imam
Abu Hanifah berkata:
«وصفاته الذاتية والفعلية، أما
الذاتية فالحياة والقدرة والعلم والكلام والسمع والبصر والإرادة، وأما الفعلية فالتخليق
والترزيق والإنشاء والإبداع والصنع وغير ذلك من صفات الفعل لم يزل ولا يزال بأسمائه
وصفاته»
“Allah
mempunyai sifat Dzatiyyah dan Fi’liyyah.
Adapun sifat-sifat Dzatiyyah-nya Allah ialah Al-Hayaah (Hidup), Al-Qudrah
(Berkuasa), Al-Ilmu (Mengetahui), Al-Kalaam (berbicara), As-Sam’
(Mendengar), Al-Bashar (Melihat), Al-Iradah (Berkehendak).
Sedang sifat-sifat Fi’liyyah-Nya Allah ialah Mencipta,
Memberi rizki, Membikin, Menumbuhkan dan lain-lain. Ia tetap dan senantiasa
tetap dengan asma’ dan sifat-sifat-Nya.”[14]
[15] Imam
Abu Hanifah berkata:
«ولم يزل فاعلاً بفعله والفعل
صفة في الأزل والفاعل هو الله تعالى والفعل صفة في الأزل والمفعول مخلوق وفعل الله
تعالى غير مخلوق»
“Ia
tetap aktif berbuat dengan perbuatan-Nya. Fi’il (perbuatan)-Nya
merupakan sifat azaly (kekal tanpa ada permulaan). Sedang Fa’il (pelaku)
adalah Allah Ta’ala. Fi’il-Nya adalah sifat azaly, Maf’ul
(objek perbuatan)-Nya adalah makhluk, dan fi’lullah (perbuatan Allah) Ta’ala
bukan makhluk.”[15]
[16] Imam
Abu Hanifah berkata:
«من قال لا أعرف ربي في السماء
أم في الأرض فقد كفر، وكذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض»
“Barangsiapa
berkata, ‘Aku tak tahu Rabbku di langit apa di bumi, berarti ia kafir. Begitu
juga seseorang menjadi kafir apabila mengatakan bahwa Allah itu ada di atas
Arsy, tetapi aku tak tahu Arsy itu di langit atau di bumi.”[16]
[17] Imam
Abu Hanifah berkata kepada seorang wanita yang bertanya, “Di manakah Ilahmu
yang engkau sembah itu?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Allah ada di langit, bukan
di bumi.” Lalu tampillah seorang pria mengajukan pertanyaan, “Bagaimana dengan
ayat:
{وَهُوَ مَعَكُمْ}
“Dan
dia (selalu) bersamamu.” (Q.S. Al-Hadid: 4) ?”
Abu Hanifah menjawab, “Dia seperti engkau menulis surat
kepada seorang lelaki dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya aku selalu bersamamu,
padahal engkau tidak ada di sampingnya.”[17]
[18] Imam
Abu Hanifah berkata:
«يد الله فوق أيديهم ليست كأيدي
خلقه»
“Tangan
Allah di atas tangan makhluk-Nya, sedang tangan-Nya tidak seperti tangan
makhluk-Nya.”[18]
[19] Imam
Abu Hanifah berkata: “Allah itu di langit, bukan di bumi.” Maka tampillah
seorang lelaki bertanya kepadanya, “Bagaimana pendapat tuan tentang ayat:
{وَهُوَ مَعَكُمْ}
“Dan
dia (selalu) bersamamu.” (Q.S. Al-Hadid: 4) ?”
Ia menjawab, “Ia seperti engkau menulis surat kepada seseorang
‘Aku selalu bersamamu’, padahal engkau tidak bersamanya.”[19]
[20] Imam
Abu Hanifah berkata:
«قد كان متكلمًا ولم يكن كلم
موسى عليه السلام»
“Allah
mempunyai sifat berbicara sebelum berbicara dengan Musa alaihissalam.”[20]
[21] Imam
Abu Hanifah berkata:
«ومتكلمًا بكلامه والكلام صفة
في الأزل»
“Allah
berbicara dengan kalam (perkataan)Nya, dan kalam-Nya merupakan sifat azaly.”
[21]
[22] Imam
Abu Hanifah berkata:
«ويتكلم لا ككلامنا»
“Allah
berbicara, namun tidak seperti bicaranya kita.” [22]
[23] Imam
Abu Hanifah berkata:
“Musa alaihissalam telah mendengar kalam Allah Ta’ala,
sebagaimana firman-Nya:
{وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا}
“Dan
Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (Q.S.
An-Nisa: 164)
Sedang Allah Ta’ala itu berbicara sebelum
berbicara dengan Musa alaihissalam.”[23]
[24] Imam
Abu Hanifah mengatakan:
«والقرآن كلام الله في المصاحف
مكتوب وفي القلوب محفوظ، وعلى الألسن مقروء، وعلى النبي - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-، أنزل»
“Dan
AL-Qur’an adalah kalamullah, yang tertulis dalam mushaf, yang
terpelihara di kalbu, dan dibca oleh banyak lisan, serta diturunkan kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam.”[24]
[25] Imam
Abu Hanifah mengatakan:
«والقرآن غير مخلوق»
“Dan
Al-Qur’an bukan makhluk.”[25]
[1] Ad-Durar
Al-Mukhtaar Ma’a Haasyiyah Radd Al-Mukhtar, 6/396-397
[2] Syarh
Al-Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 234; Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin,
2/285; Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 198
[3] At-Tawasul
wa Al-Wasiilah, hal. 82; Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 198
[4] Al-Fiqh
Al-Absath, hal. 56
[5] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 302
[6] Syarh
Al-Aqiidah Ath-Thahawiyyah, 2/472, tahqiiq Dr. At-Turky; Jalaa’
Al-Ainain, hal. 368.
[7] Aqiidah
As-Salaf Ashhaab Al-Hadiits, hal. 42; Al-Asmaa’ wa Ash-Shifaat,
Al-Baihaqy, hal. 456; Syarh Al-Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal. 245,
takhriij Al-Albany; Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 60
[8] AL-Fiqh
Al-Absath, hal. 51
[9] AL-Fiqh
Al-Absath, hal. 56
[10] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 301
[11] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 302
[12] Al-Fiqh
Al-Absath, hal. 56
[13] Al-Aqidah
Ath-Thahawiyyah, dengan ta’liq Syaikh Al-Albany, hal. 301
[14] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 301
[15] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 301
[16] Al-Fiqh
Al-Absath, hal. 46. Lafadz seperti ini telah dikutip oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’ Al-Fataawa, 5/48, Ibnul Qayyim dalam Ijtimaa’
Juyuusy Al-Islamiyyah, hal. 139, Adz-Dzahaby dalam Al-Uluw, hal.
101-102, dan Ibnu Abil Izz dalam Syarh Al-Aqiidah Ath-Thahawiyyah, hal.
301.
[17] Al-Asmaa’
wa Ash-Shifaat, hal. 429
[18] Al-Fiqh
Al-Absath, hal. 56
[19] Al-Asmaa’
wa Ash-Shifaat¸2/70
[20] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 302
[21]
Al-Fiqh Al-Akbar, hal. 301
[22] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 302
[23] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 302
[24] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 301
[25] Al-Fiqh
Al-Akbar, hal. 301
Sumber: I'tiqaad Al-A'immah Al-Arba'ah, Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumais
ditulis ulang dari kitab Aqidah 4 Imam Madzhab, cet. GIP, 1995
No comments:
Post a Comment