Permasalahan yang berkaitan dengan pengertian keimanan
adalah masalah bertambah dan berkurangnya iman. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany
menetapkan dalam masalah ini, bahwa keimanan itu bertambah dan berkurang. Beliau
berkata,
“Kami yakin bahwa
keimanan itu pernyataan dengan lisan, mengetahuinya dengan hati, dan
mengamalkannya dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan kemaksiatan.”[1]
Dalam hal ini, beliau berdalil kepada firman Allah Ta’ala:
{وَإِذَا مَآ أُنزِلَتْ سُورَةٌۭ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ
زَادَتْهُ هَٰذِهِۦٓ إِيمَٰنًۭا ۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فَزَادَتْهُمْ إِيمَٰنًۭا
وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ}
“Dan
apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada
yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan
(turunnya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini
menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.
(Q.S. At-Taubah: 124)
Kemudian firman Allah Ta’ala:
{إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ
قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًۭا وَعَلَىٰ
رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.”
(Q.S. Al-Anfal: 2)
Juga firman Allah Ta’ala:
{وَمَا جَعَلْنَآ أَصْحَٰبَ ٱلنَّارِ إِلَّا مَلَٰٓئِكَةًۭ ۙ وَمَا
جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةًۭ لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لِيَسْتَيْقِنَ ٱلَّذِينَ
أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ وَيَزْدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِيمَٰنًۭا }
“Dan
tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah
Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi
orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan
supaya orang yang beriman bertambah imannya” (Q.S.
Al-Muddatstsir: 31)[2]
Pendapat ini selaras dengan pendapat para salaf umat ini
dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama;ah bahwa keimanan itu bertambah dan
berkurang. Imam Al-Lalika’I rahimahullah meriwayatkan nama-nama kelompok
sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in yang berpendapat seperti ini dengan
judul, “Siyaqu ma Dalla Au Fussira min Al-Ayat min Kitabillah wa Sunnati
Rasulihi wa ma Ruwiya An Ash-Shahabah wa At-Tabi’in min Ulama’I Aimmati AdDin
Anna Al-Imana Yazidu bi Ath-Tha’ati wa Yanqushu bi Al-Ma’shiyah.”
Kemudian beliau menyebutkan sahabat yang berpendapat
semacam ini. Di antara mereka adalah Umar bin Al-Khaththab, Abdullah bin Abbas,
Abdullan bin Mas’ud dan lain sebagainya.
Di antara tabi’in ada Sufyan Ats-Tsaury, Mujahid, Sa’id
bin Jabir dan sebagainya.
Di antara fuqaha adalah Malik bin Anas, Jarir bin Abdul
Hamid, Ahmad bin Hambal dan sebagainya.[3]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah berdalil bahwa keimanan
itu bertambah dan berkurang dengan dalil yang dijadikan dalil oleh Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailany seperti yang telah dijelaskan di atas. Dan yang telah
dinashkan, bahwa keimanan itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Mereka berdalil dengan beberapa hadits shahih, dia
antaranya adalah sabda Rasulullah,
“Keimanan itu ada 60 lebih sedikit cabang
(tingkat), yang paling utama adalah perkataan ‘laa ilaaha illallaah’, dan yang
paling rendah adalah memindahkan duri dari jalan dan malu adalah cabang dari
keimanan.”[4]
Kemudian sabda Rasulullah,
“Penghuni surga masuk surga dan penghuni
neraka masuk neraka, lalu Allah Ta’ala berfirman, ‘Keluarkanlah siapa yang di
dalam hatinya ada keimanan walaupun hanya seberat biji sawi. Lalu mereka
dikeluarkan darinya. Mereka telah berubah menjadi hitam, lalu mereka dilempar
di sungai kehidupan lalu tumbuhlah mereka seperti tumbuhnya biji setelah
banjir. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka keluar berwarna kuning langsat.”[5]
Imam Al-Bukhary telah membuat satu bab tersendiri di
dalam Shahih-nya untuk menjelaskan tentang pertambahan dan pengurangan
iman dalam bab “Bertambah dan Berkurangnya Iman” menyitir ayat-ayat di atas dan
sebagainya, seperti yang diriwayatkan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi
wa sallam,
“Keluar dari neraka orang yang berkata, ‘Laa
ilaaha illallaah’ dan di dalam hatinya ada kebaikan seberat biji gandum, dan
keluar dari neraka orang yang berkata, ‘laa
ilaaha illallah’ dan di dalam hatinya ada kebaikan seberat biji sawi, dan
keluar dari neraka orang yang berkata ‘laa ilaaha illallaah’ dan di dalamnya
ada kebaikan seberat biji jagung.”[6]
Dengan demikian jelaslah kesamaan Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailany rahimahullah dengan Ahlus Sunnah wal Al-Jama’ah dalam
memandang bertambah dan berkurangnya keimanan.
Sumber: Asy-Syaikh Abdul Qadir AL-Jailaany wa Aaraa’uhu Al-I’tiqaadiyyah wa Ash-Shuufiyyah, Said bin Musfir Al-Qahthany
Penerjemah: Munirul Abdiin, M.Ag
Diketik ulang dari kitab Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany
No comments:
Post a Comment