Sebelum setan menipu daya Adam dan Hawa, dia terlebih dahulu sudah
tertipu daya oleh dirinya sendiri. Dia mendapat kemalangan. Demikian juga anak
cucunya, pengikut-pengikutnya dan siapa saja yang menaatinya dari kalangan jin
maupun manusia.
Bentuk tipu daya setan terhadap dirinya sendiri adalah, bahwasanya
tatkala Allah memerintahkannya bersujud kepada Adam alaihissalam, maka
sebenarnya letak kebahagiaan, kemuliaan dan keselamatannya adalah dalam menaati
dan menuruti perintah Allah itu. Namun jiwanya yang bodoh dan aniaya itu
membisikkan bahwa jika ia sampai bersujud kepada Adam, maka itu berarti
melecehkan dan merendahkan dirinya. Sebab, hal itu berarti ia tunduk dan sujud
kepada makhluk yang tercipta dari tanah, padahal dirinya tercipta dari api. Api
itu –menurutnya- lebih mulia ketimbang tanah. Maka, yang tercipta dari api itu
lebih baik daripada yang tercipta dari tanah. Dengan demikian, ketertundukan
makhluk yang lebih utama terhadap makhluk yang lebih rendah itu berarti
pelecehan terhadap dirinya.
Tatkala kebodohan ini menghinggapi hatinya, ditambah lagi munculnya rasa
dengki terhadap Adam lantaran ia tahu bahwa Allah telah mengistimewakan Adam
dengan berbagai kemuliaan –yaitu, Dia menciptakannya dengan tangan-Nya,
menipu-Nya dengan ruh-Nya, menyuruh malaikat agar bersujud kepadanya,
mengajarkan segala macam nama kepadanya yang tidak Dia ajarkan kepada malaikat
sekalipun, serta menempatkannya di surga- maka kedengkian dari musuh Allah itu
semakin mengklimaks. Ia memandang Adam sebagai makhluk yang tercipta dari tanah
kering seperti tembikar, sehingga ia pun tak habis pikir seraya berkata, “Apa
mulianya makhluk ini? Sekiranya ia dikuasakan atas diriku, maka pasti akan aku
durhakai ia. Dan jika aku dikuasakan atas dirinya, pasti akan aku hancurkan
ia!”